Pajak

Perlakuan Perpajakan Bagi Bentuk Usaha Tetap (BUT)

Gudang Firmware

Link Author

Title: Perlakuan Perpajakan Bagi Bentuk Usaha Tetap (BUT)
Author: Gudang Firmware
Rating 5 of 5 Des:

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14/PMK.03/2011 TENTANG PERLAKUAN PERPAJAKAN ATAS PENGHASILAN KENA PAJAK SESUDAH DIKURA...

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14/PMK.03/2011 TENTANG PERLAKUAN PERPAJAKAN ATAS PENGHASILAN KENA PAJAK SESUDAH DIKURANGI PAJAK DARI SUATU BENTUK USAHA TETAP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : <ol start="1" type="a"><li class="MsoNormal" style="color: black; line-height: normal;">bahwa untuk lebih memberikan kepastian hukum mengenai perlakuan perpajakan atas penanaman kembali Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan dari suatu Bentuk Usaha Tetap sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 257/PMK.03/2008 tentang Perlakuan Perpajakan atas Penghasilan Kena Pajak sesudah Dikurangi Pajak dari Suatu Bentuk Usaha Tetap, perlu mengatur kembali perlakuan perpajakan atas penanaman kembali Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan dari suatu Bentuk Usaha Tetap;</li><li class="MsoNormal" style="color: black; line-height: normal;">bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, dan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 26 ayat (4) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Perlakuan Perpajakan atas Penghasilan Kena Pajak Sesudah Dikurangi Pajak dari Suatu Bentuk Usaha Tetap;</li></ol> Mengingat : <ol start="1" type="1"><li class="MsoNormal" style="color: black; line-height: normal;">Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);</li><li class="MsoNormal" style="color: black; line-height: normal;">Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263), sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);</li><li class="MsoNormal" style="color: black; line-height: normal;">Keputusan Presiden Nomor 56/P Tahun 2010;</li></ol> MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PERLAKUAN PERPAJAKAN ATAS PENGHASILAN KENA PAJAK SESUDAH DIKURANGI PAJAK DARI SUATU BENTUK USAHA TETAP. Pasal 1 <table class="MsoNormalTable" style="width: 100%;" width="100%" border="0" cellpadding="0" cellspacing="0"> <tbody><tr style=""> <td style="width: 22.5pt; padding: 0in;" valign="top" width="30"> (1) </td> <td style="width: 691.5pt; padding: 0in;" valign="top" width="922"> Atas Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan dari suatu Bentuk Usaha Tetap di Indonesia dikenai Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (4) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008. </td> </tr> <tr style=""> <td style="width: 22.5pt; padding: 0in;" valign="top" width="30"> (2) </td> <td style="width: 691.5pt; padding: 0in;" valign="top" width="922"> Dalam hal Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan dari suatu Bentuk Usaha Tetap ditanamkan kembali di Indonesia, penghasilan dimaksud dikecualikan dari pengenaan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). </td> </tr> <tr style=""> <td style="width: 22.5pt; padding: 0in;" valign="top" width="30"> (3) </td> <td style="width: 691.5pt; padding: 0in;" valign="top" width="922"> Pengecualian dari pengenaan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan apabila seluruh Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan dari suatu Bentuk Usaha Tetap ditanamkan kembali di Indonesia dalam bentuk: <ol start="1" type="a"><li class="MsoNormal" style="color: black; text-align: justify; line-height: normal;">penyertaan modal pada perusahaan yang baru didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagai pendiri atau peserta pendiri;</li><li class="MsoNormal" style="color: black; text-align: justify; line-height: normal;">penyertaan modal pada perusahaan yang sudah didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagai pemegang saham;</li><li class="MsoNormal" style="color: black; text-align: justify; line-height: normal;">pembelian aktiva tetap yang digunakan oleh Bentuk Usaha Tetap untuk menjalankan usaha Bentuk Usaha Tetap atau melakukan kegiatan Bentuk Usaha Tetap di Indonesia; atau</li><li class="MsoNormal" style="color: black; text-align: justify; line-height: normal;">investasi berupa aktiva tidak berwujud oleh Bentuk Usaha Tetap untuk menjalankan usaha Bentuk Usaha Tetap atau melakukan kegiatan Bentuk Usaha Tetap di Indonesia.</li></ol> </td> </tr> </tbody></table> Pasal 2 <table class="MsoNormalTable" style="width: 100%;" width="100%" border="0" cellpadding="0" cellspacing="0"> <tbody><tr style=""> <td style="width: 22.5pt; padding: 0in;" valign="top" width="30"> (1) </td> <td style="width: 691.5pt; padding: 0in;" valign="top" width="922"> Seluruh Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan dari suatu Bentuk Usaha Tetap yang ditanamkan kembali di Indonesia yang dikecualikan dari pengenaan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3), harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: <ol start="1" type="a"><li class="MsoNormal" style="color: black; text-align: justify; line-height: normal;">penanaman kembali di Indonesia harus dilakukan paling lama pada akhir Tahun Pajak berikutnya, setelah Tahun Pajak diperolehnya penghasilan tersebut bagi Bentuk Usaha Tetap yang bersangkutan; dan</li><li class="MsoNormal" style="color: black; text-align: justify; line-height: normal;">Bentuk Usaha Tetap yang bersangkutan menyampaikan pemberitahuan secara tertulis mengenai bentuk penanaman modal, realisasi penanaman kembali yang telah dilakukan dan/atau saat mulai berproduksi komersial bagi perusahaan yang baru didirikan, yang dilakukan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar.</li></ol> </td> </tr> <tr style=""> <td style="width: 22.5pt; padding: 0in;" valign="top" width="30"> (2) </td> <td style="width: 691.5pt; padding: 0in;" valign="top" width="922"> Untuk penanaman kembali di Indonesia dalam bentuk penyertaan modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3) huruf a, selain persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: <ol start="1" type="a"><li class="MsoNormal" style="color: black; text-align: justify; line-height: normal;">perusahaan baru yang didirikan dan berkedudukan di Indonesia secara aktif telah melakukan kegiatan usaha sesuai akta pendiriannya, paling lama 1 (satu) tahun sejak perusahaan tersebut didirikan; dan</li><li class="MsoNormal" style="color: black; text-align: justify; line-height: normal;">Bentuk Usaha Tetap yang bersangkutan tidak boleh melakukan pengalihan atas penyertaan modal paling sedikit dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sejak perusahaan baru dimaksud berproduksi komersial.</li></ol> </td> </tr> <tr style=""> <td style="width: 22.5pt; padding: 0in;" valign="top" width="30"> (3) </td> <td style="width: 691.5pt; padding: 0in;" valign="top" width="922"> Untuk penanaman kembali di Indonesia dalam bentuk penyertaan modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3) huruf b, selain persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: <ol start="1" type="a"><li class="MsoNormal" style="color: black; text-align: justify; line-height: normal;">perusahaan yang sudah didirikan dan berkedudukan di Indonesia mempunyai kegiatan usaha aktif di Indonesia; dan</li><li class="MsoNormal" style="color: black; text-align: justify; line-height: normal;">Bentuk Usaha Tetap yang bersangkutan tidak boleh melakukan pengalihan atas penyertaan modal paling sedikit dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun sejak penyertaan modal.</li></ol> </td> </tr> <tr style=""> <td style="width: 22.5pt; padding: 0in;" valign="top" width="30"> (4) </td> <td style="width: 691.5pt; padding: 0in;" valign="top" width="922"> Untuk penanaman kembali di Indonesia dalam bentuk: <ol start="1" type="a"><li class="MsoNormal" style="color: black; text-align: justify; line-height: normal;">pembelian aktiva tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3) huruf c; atau</li><li class="MsoNormal" style="color: black; text-align: justify; line-height: normal;">investasi berupa aktiva tidak berwujud sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3) huruf d,</li></ol> selain persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bentuk Usaha Tetap yang bersangkutan tidak boleh melakukan pengalihan atas pembelian aktiva tetap atau pengalihan atas investasi berupa aktiva tidak berwujud, paling sedikit dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun sejak perolehan aktiva tetap atau investasi aktiva tidak berwujud yang bersangkutan. </td> </tr> <tr style=""> <td style="width: 22.5pt; padding: 0in;" valign="top" width="30"> (5) </td> <td style="width: 691.5pt; padding: 0in;" valign="top" width="922"> Dalam hal persyaratan-persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), tidak lagi dipenuhi, atas Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan dari suatu Bentuk Usaha Tetap yang terkait, dikenai Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) terhitung sejak diperolehnya Penghasilan Kena Pajak yang bersangkutan, dan dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. </td> </tr> </tbody></table> Pasal 3 <table class="MsoNormalTable" style="width: 100%;" width="100%" border="0" cellpadding="0" cellspacing="0"> <tbody><tr style=""> <td style="width: 22.5pt; padding: 0in;" valign="top" width="30"> (1) </td> <td style="width: 691.5pt; padding: 0in;" valign="top" width="922"> Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap yang melakukan penanaman kembali seluruh Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak penghasilan di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3), wajib menyampaikan pemberitahuan secara tertulis mengenai bentuk penanaman modal yang dilakukan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar, dengan melampirkan pada Surat Pemberitahuan Tahunan untuk Tahun Pajak diterima atau diperolehnya penghasilan yang bersangkutan. </td> </tr> <tr style=""> <td style="width: 22.5pt; padding: 0in;" valign="top" width="30"> (2) </td> <td style="width: 691.5pt; padding: 0in;" valign="top" width="922"> Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyampaikan pemberitahuan secara tertulis mengenai realisasi penanaman kembali yang telah dilakukan, kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar, dengan melampirkan pada Surat Pemberitahuan Tahunan untuk Tahun Pajak saat dilakukan realisasi penanaman kembali tersebut. </td> </tr> <tr style=""> <td style="width: 22.5pt; padding: 0in;" valign="top" width="30"> (3) </td> <td style="width: 691.5pt; padding: 0in;" valign="top" width="922"> Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), paling sedikit meliputi hal-hal sebagai berikut: <ol start="1" type="a"><li class="MsoNormal" style="color: black; text-align: justify; line-height: normal;">jumlah Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan dari Bentuk Usaha Tetap dan Tahun Pajak yang bersangkutan; dan</li><li class="MsoNormal" style="color: black; text-align: justify; line-height: normal;">bentuk penanaman kembali, jumlah realisasi penanaman kembali, dan Tahun Pajak dilakukan realisasi penanaman kembali.</li></ol> </td> </tr> </tbody></table> Pasal 4 <table class="MsoNormalTable" style="width: 100%;" width="100%" border="0" cellpadding="0" cellspacing="0"> <tbody><tr style=""> <td style="width: 22.5pt; padding: 0in;" valign="top" width="30"> (1) </td> <td style="width: 691.5pt; padding: 0in;" valign="top" width="922"> Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap yang melakukan penanaman kembali seluruh Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3) huruf a wajib menyampaikan pemberitahuan secara tertulis mengenai saat mulai berproduksi komersial. </td> </tr> <tr style=""> <td style="width: 22.5pt; padding: 0in;" valign="top" width="30"> (2) </td> <td style="width: 691.5pt; padding: 0in;" valign="top" width="922"> Saat berproduksi komersial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah saat perusahaan yang baru didirikan tersebut telah mulai memproduksi barang untuk dijual bagi perusahaan manufaktur atau saat perusahaan mulai melakukan penjualan barang dan/atau jasa bagi perusahaan selain manufaktur. </td> </tr> <tr style=""> <td style="width: 22.5pt; padding: 0in;" valign="top" width="30"> (3) </td> <td style="width: 691.5pt; padding: 0in;" valign="top" width="922"> Keputusan tentang saat berproduksi komersial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap terdaftar atas nama Direktur Jenderal Pajak berdasarkan hasil penelitian Kantor Pelayanan Pajak dimaksud, paling lama 6 (enam) bulan setelah Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap meyampaikan pemberitahuan secara tertulis mengenai saat berproduksi komersial. </td> </tr> <tr style=""> <td style="width: 22.5pt; padding: 0in;" valign="top" width="30"> (4) </td> <td style="width: 691.5pt; padding: 0in;" valign="top" width="922"> Penetapan saat berproduksi komersial sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan berdasarkan keadaan sebenarnya dengan memperhatikan saat mulai berproduksi komersial yang disampaikan oleh Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap yang bersangkutan. </td> </tr> <tr style=""> <td style="width: 22.5pt; padding: 0in;" valign="top" width="30"> (5) </td> <td style="width: 691.5pt; padding: 0in;" valign="top" width="922"> Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) telah lewat dan Direktur Jenderal Pajak tidak menerbitkan surat keputusan tentang saat berproduksi komersial, saat berproduksi komersial adalah berdasarkan pemberitahuan tertulis yang disampaikan oleh Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap yang bersangkutan. </td> </tr> </tbody></table> Pasal 5 Dalam hal induk perusahaan dari Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap adalah Wajib Pajak dalam negeri dari negara yang telah mempunyai Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda dengan Indonesia, besarnya tarif untuk menghitung Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) adalah sebagaimana ditentukan dalam Persetujuan Penghindaran Pajak yang berlaku. Pasal 6 Dalam hal penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final, dasar pengenaan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) adalah Penghasilan Kena Pajak yang dihitung berdasarkan pembukuan yang sudah dilakukan koreksi fiskal, dikurangi dengan jumlah Pajak Penghasilan yang bersifat final. Pasal 7 Tata cara pemberitahuan secara tertulis oleh Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 4 ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak. Pasal 8 Pada saat Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 257/PMK.03/2008 tentang Perlakuan Perpajakan atas Penghasilan Kena Pajak sesudah Dikurangi Pajak dari Suatu Bentuk Usaha Tetap, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 9 Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 24 Januari 2011 MENTERI KEUANGAN, ttd. AGUS D.W. MARTOWARDOJO

Perlakuan Perpajakan Bagi Bentuk Usaha Tetap (BUT)

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14/PMK.03/2011 TENTANG PERLAKUAN PERPAJAKAN ATAS PENGHASILAN KENA PAJAK SESUDAH DIKURA...

Baca selengkapnya »

Pajak Warteg (Pajak restoran vs PPN)

Gudang Firmware

Link Author

Title: Pajak Warteg (Pajak restoran vs PPN)
Author: Gudang Firmware
Rating 5 of 5 Des:

Saat ini sedang ramai dibicarakan mengenai Pajak yang akan dikenakan atas usaha Warteg. Kami tidak akan membahas mengenai perlu diterapkan...

<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhVJreQVTzYm2zMCv5iHYiZvuekhsEOtSSIs2EgoqrLxLocDq5uvqJSeRvUNTyHaZCq0URzLs-tZqo7KxlKwEmzh4UKIkQEqC0AzvEccwRiyxU84iizJX3BEsxc9qc1jLljALPvpkadF2k/s1600/20101203_034812_warteg1.jpg"><img alt="" border="0" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5548161189358771362" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhVJreQVTzYm2zMCv5iHYiZvuekhsEOtSSIs2EgoqrLxLocDq5uvqJSeRvUNTyHaZCq0URzLs-tZqo7KxlKwEmzh4UKIkQEqC0AzvEccwRiyxU84iizJX3BEsxc9qc1jLljALPvpkadF2k/s320/20101203_034812_warteg1.jpg" style="display: block; margin: 0px auto 10px; text-align: center; cursor: pointer; width: 320px; height: 252px;" /></a>  Saat ini sedang ramai dibicarakan mengenai Pajak yang akan dikenakan atas usaha Warteg. Kami tidak akan membahas mengenai perlu diterapkannya pajak tersebut atau tidak karena hal tersebut sudah banyak diulas di media, tetapi kami akan membahas apa beda antara Pajak restoran (dulu bernama Pajak Pembangunan I) dengan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Karena saat ini masih banyak yang beranggapan bahwa setiap makan direstoran akan dikenakan PPN sebesar 10%. Padahal pajak sebesar 10% yang dikenakan tersebut bukan merupakan PPN tetapi Pajak restoran. Menurut UU-28 TAHUN 2009 Tentang Pajak Daerah, disebutkan bahwa : Pajak Daerah : adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Restoran : adalah fasilitas penyedia makanan dan/atau minuman dengan dipungut bayaran, yang mencakup juga rumah makan, kafetaria, kantin, warung, bar, dan sejenisnya termasuk jasa boga/catering. Objek Pajak Restoran : adalah pelayanan yang disediakan oleh Restoran. Pelayanan yang disediakan Restoran meliputi pelayanan penjualan makanan dan/atau minuman yang dikonsumsi oleh pembeli, baik dikonsumsi di tempat pelayanan maupun ditempat lain. Tidak termasuk objek Pajak Restoran adalah pelayanan yang disediakan oleh Restoran yang nilai penjualannya tidak melebihi batas tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Subjek Pajak Restoran : adalah orang pribadi atau Badan yang membeli makanan dan/atau minuman dari Restoran. Wajib Pajak Restoran : adalah orang pribadi atau Badan yang mengusahakan Restoran. Dasar pengenaan Pajak Restoran : adalah jumlah pembayaran yang diterima atau yang seharusnya diterima Restoran. Tarif Pajak Restoran : ditetapkan paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen). Tarif Pajak Restoran ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Pajak Restoran yang terutang dipungut di wilayah daerah tempat Restoran berlokasi. Dulu Pajak Restoran ini bernama Pajak Pembangunan I (Keputusan Gubernur Kepala DKI Jakarta Nomor 137 Tahun 1979, yang telah dicabut dengan Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 66 Tahun 2006) Sesuai Pasal 4A UU Nomor 42 TAHUN 2009 Tentang Pajak Pertambahan Nilai disebutkan bahwa: Jenis barang yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN) salah satunya adalah makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya, meliputi makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat maupun tidak, termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau catering (kalo catering dikenakan PPN). Ketentuan ini dimaksudkan untuk menghindari pengenaan pajak berganda karena sudah merupakan objek pengenaan Pajak Daerah. Silakan lihat juga <a style="font-weight: bold;" href="http://pelayanan-pajak.blogspot.com/2009/08/jenis-dan-macam-pajak-di-indonesia.html">“Jenis-Jenis Pajak di Indonesia”</a><a style="font-weight: bold;" href="http://pelayanan-pajak.blogspot.com/2009/08/jenis-dan-macam-pajak-di-indonesia.html"> </a>

Pajak Warteg (Pajak restoran vs PPN)

Saat ini sedang ramai dibicarakan mengenai Pajak yang akan dikenakan atas usaha Warteg. Kami tidak akan membahas mengenai perlu diterapkan...

Baca selengkapnya »

Alur Pembayaran Pajak dan Manfaatnya

Gudang Firmware

Link Author

Title: Alur Pembayaran Pajak dan Manfaatnya
Author: Gudang Firmware
Rating 5 of 5 Des:

Subjek Pajak yang sudah memenuhi syarat subjektif dan objektif harus mendaftarkan diri ke KPP untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak (N...

<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi66XFBYoRTNWKJn6Y0799zaqMCxbzN17-24v2whGBktpAqHi7alGfc-3C84wr23dKGRjL9Py-huVTFltQr2pqUvV2ND_TLlZNVJ8h4AmH97qC9M5bmG-jigzAOXyCGYZXkM0s2qqtsb0k/s1600/arusdanmafaat.jpg"><img alt="" border="0" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5469474843053154866" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi66XFBYoRTNWKJn6Y0799zaqMCxbzN17-24v2whGBktpAqHi7alGfc-3C84wr23dKGRjL9Py-huVTFltQr2pqUvV2ND_TLlZNVJ8h4AmH97qC9M5bmG-jigzAOXyCGYZXkM0s2qqtsb0k/s400/arusdanmafaat.jpg" style="margin: 0px auto 10px; display: block; text-align: center; cursor: pointer; width: 400px; height: 630px;" /></a> Subjek Pajak yang sudah memenuhi syarat <a href="http://pelayanan-pajak.blogspot.com/2009/02/pengertian-subjek-pajak.html" target="_blank">subjektif</a> dan <a href="http://pelayanan-pajak.blogspot.com/2009/03/objek-pada-pajak-penghasilan.html">objektif</a> harus mendaftarkan diri ke KPP untuk mendapatkan <a href="http://pelayanan-pajak.blogspot.com/2008/08/apa-sih-npwp.html">Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP</a>). <o:p> </o:p> Kemudian Wajib Pajak menghitung sendiri besarnya pajak, dan membayar pajak tersebut ke BANK dengan menggunakan <a href="http://pelayanan-pajak.blogspot.com/2009/06/surat-setoran-pajak-ssp-baru-berlaku-1.html">Surat Setoran Pajak (SSP).</a><a href="http://pelayanan-pajak.blogspot.com/2009/06/surat-setoran-pajak-ssp-baru-berlaku-1.html"> </a> <o:p> </o:p> SSP lembar ke-3 beserta <a href="http://pelayanan-pajak.blogspot.com/2009/04/surat-pemberitahuan-spt.html">Surat Pemberitahuan (SPT)</a> kemudian dilaporkan ke KPP. <o:p> </o:p> Kemudian atas uang pajak tersebut masuk ke Rekening pemerintah. Dengan persetujuan DPR, uang pajak tersebut digunakan untuk melaksanakan pembangunan dan membiayai kegiatan pemerintah.

Alur Pembayaran Pajak dan Manfaatnya

Subjek Pajak yang sudah memenuhi syarat subjektif dan objektif harus mendaftarkan diri ke KPP untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak (N...

Baca selengkapnya »

KEWAJIBAN PERPAJAKAN BAGI BENDAHARAWAN - Bagian 1

Gudang Firmware

Link Author

Title: KEWAJIBAN PERPAJAKAN BAGI BENDAHARAWAN - Bagian 1
Author: Gudang Firmware
Rating 5 of 5 Des:

I. Bendaharawan Sebagai Pemotong/ Pemungut Pajak Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan, Bendaharawan Pemerintah, yait...

<o:p> </o:p> I. Bendaharawan Sebagai Pemotong/Pemungut Pajak <o:p></o:p> <o:p> </o:p> Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan, Bendaharawan Pemerintah, yaitu Bendaharawan dan Pejabat yang melakukan pembayaran yang dananya berasal dari APBN/APBD, ditetapkan sebagai Pemungut : <o:p></o:p> - Pajak Pertambahan Nilai (PPN) <o:p></o:p> Dasar Hukum:<o:p></o:p> Pasal 1 angka 27 UU PPN “Pemungut Pajak Pertambahan Nilai adalah bendahara pemerintah, badan, atau instansi pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk memungut, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang oleh Pengusaha Kena Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak kepada bendahara pemerintah, badan, atau instansi pemerintah tersebut” <o:p></o:p> - Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22<o:p></o:p> Dasar Hukum:<o:p></o:p> Pasal 22 ayat (1) UU PPh “Menteri Keuangan dapat menetapkan bendahara pemerintah untuk memungut pajak sehubungan dengan pembayaran atas penyerahan barang” <o:p></o:p> - PPh Pasal 21/26 <o:p></o:p> Dasar Hukum : <o:p></o:p> Pasal 21 ayat (1) huruf b UU PPh “Pemotongan pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri, wajib dilakukan oleh bendahara pemerintah yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain, sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan”<o:p></o:p> Bendahara pemerintah termasuk bendahara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, instansi atau lembaga pemerintah, lembaga¬lembaga negara lainnya dan Kedutaan Besar Republik Indonesia di luar negeri yang membayar gaji, upah, tunjangan, honorarium, dan pembayaran lain sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan. <o:p></o:p> Termasuk juga dalam pengertian bendahara adalah pemegang kas dan pejabat lain yang menjalankan fungsi yang sama <o:p></o:p> - Pasal 23/26 <o:p></o:p> Dasar Hukum :<o:p></o:p> Pasal 23 ayat (1) huruf c dan Pasal 26 ayat (1)<o:p></o:p> sebagaimana ketentuan yang berlaku umum. <o:p></o:p> <o:p></o:p> <o:p> </o:p> II. Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Pendaftaran dan Penghapusan <o:p></o:p> <o:p> </o:p> Bendaharawan Pemerintah yang mengelola dana yang bersumber dari APBN/APBD harus mendaftarkan diri sebagai Wajib Pajak pada Kantor Pelayanan Pajak yang wilayah kerjanya meliputi domisili instansi tempat Bendaharawan tersebut berada.<o:p></o:p> <o:p> </o:p> Persyaratan untuk mendaftarkan diri sebagai WP adalah: <o:p></o:p> - Mengisi dan menandatangani formulir pendaftaran<o:p></o:p> - Fotocopy kartu identitas (KTP, SIM, Paspor )<o:p></o:p> - Fotocopy SK Penunjukan sebagai Bendahara <o:p></o:p> <o:p> </o:p> Dalam hal terjadi mutasi pegawai yang mengakibatkan bendahara yang bersangkutan diganti oleh pegawai lain, tidak perlu mendaftarkan NPWP baru, tetapi memberitahukan kepada KPP dengan melampirkan: <o:p></o:p> - Fotocopy kartu identitas (KTP, SIM, Paspor) Bendahara baru<o:p></o:p> - Fotocopy SK Penunjukan sebagai Bendahara yang baru <o:p></o:p> Apabila Bendaharawan yang telah terdaftar sebagai Wajib Pajak tersebut ternyata institusinya bubar, terjadi perubahan organisasi atau proyeknya telah selesai, maka dimintakan penghapusan NPWP dengan mengajukan permohonan yang dilampiri dokumen-dokumen pendukungnya. <o:p></o:p> <a name="OLE_LINK1">III. Kewajiban Bendaharawan atas PPh</a><a name="OLE_LINK1"> </a><a name="OLE_LINK1"></a><o:p></o:p> <o:p> </o:p> Bendaharawan berkewajiban untuk: <o:p></o:p> - memotong PPh Pasal 21 atas pembayaran gaji/honor<o:p></o:p> - memotong PPh Pasal 22 atas pengadaan barang<o:p></o:p> - memotong PPh Pasal 23 atas pengadaan jasa<o:p></o:p> - memotong PPh Pasal 26 atas imbalan jasa, pekerjaan, dan kegiatan yang <o:p></o:p> diterima Wajib Pajak luar negeri<o:p></o:p> <o:p> </o:p> Bendaharawan tidak melakukan pemotongan PPh Pasal 22 atas: <o:p></o:p> - pembayaran yang jumlahnya paling banyak Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan tidak merupakan pembayaran yang terpecah-pecah; <o:p></o:p> - pembayaran untuk pembelian bahan bakar minyak, listrik, gas, air minum/PDAM dan benda-benda pos;<o:p></o:p> - pembayaran/pencairan dana Jaring Pengaman Sosial (JPS) oleh Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN); <o:p></o:p> <o:p></o:p> <o:p> </o:p> IV. Kewajiban Bendaharawan atas PPN&PPnBM <o:p></o:p> <o:p> </o:p> Atas pengadaan Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak, bendaharawan wajib memungut PPN & PPnBM. <o:p></o:p> Bendaharawan tidak melakukan pemungutan PPN & PPnBM atas: <o:p></o:p> 1. Pembayaran yang tidak melebihi Rp. 1.000.000,- termasuk PPN dan PPnBM<o:p></o:p> 2. Untuk Pembebasan Tanah<o:p></o:p> 3. Pembayaran atas BKP/JKP yang menurut ketentuan perundang-undangan mendapat fasilitas PPN Tidak Dipungut atau Dibebaskan<o:p></o:p> 4. BBM dan Non-BBM oleh PERTAMINA<o:p></o:p> 5. Rekening Telepon<o:p></o:p> 6. Jasa Angkutan Udara yang diserahkan perusahaan penerbangan<o:p></o:p> 7. Untuk penyerahan BKP/JKP yang menurut ketentuan perundang-undangan tidak dikenakan PPN <o:p></o:p> <o:p></o:p> Barang dan Jasa yang mendapat fasilitas Dibebaskan adalah:<o:p></o:p> - BKP Tertentu dan JKP Tertentu (PP 146/2000 sebagaimana telah diubah dengan PP 38/2003)<o:p></o:p> - BKP Strategis (PP 12/2001 sebagaimana telah diubah dengan PP 31/2007)<o:p></o:p> - Beberapa BKP yang dibebaskan dari Bea Masuk (231/KMK.03/2001 sebagaimana telah diubah dengan 616/PMK.03/2004) <o:p></o:p> <o:p> </o:p> <o:p> </o:p> V. Petunjuk Pembayaran Gaji/Honor <o:p></o:p> <o:p> </o:p> Secara umum, pada saat bendaharawan melakukan pembayaran berupa gaji/honor harus dilihat terlebih dahulu sumber dana dan kemudian penerima penghasilan tersebut <o:p></o:p> Sumber dana dapat bersumber dari: <o:p></o:p> - APBN/APBD<o:p></o:p> - Non APBN/APBD<o:p></o:p> Penerima Penghasilan terdiri atas<o:p></o:p> - Pejabat Negara/PNS/ABRI<o:p></o:p> - Non Pejabat Negara/PNS/ABRI <o:p></o:p> Apabila sumber dananya berasal dari selain APBN/APBD, maka perlakuannya adalah ketentuan pemungutan/pemotongan yang berlaku umum. Penghasilan berupa honorarium, uang sidang, uang hadir uang lembur, Imbalan Prestasi kerja dan imbalan lain dengan nama apapun yang sumber dananya berasal dari APBN/APBD, maka tata caranya adalah sebagaimana diatur dalam PP 45 Tahun 1994. <o:p></o:p> <o:p> </o:p> Apabila penerima penghasilan tersebut Non Pejabat Negara/PNS/ABRI, maka tata cara pemotongan/ pemungutan adalah tata cara yang berlaku umum (Perdirjen Pajak No. 31/PJ/2009 yang telah diubah terakhir dengan PER-57/PJ/2009), sedangkan apabila dibayarkan kepada Pejabat Negara/PNS/ABRI, berlaku ketentuan khusus (PP 45/1994).<o:p></o:p> <o:p> </o:p> Atas Penghasilan yang diberikan kepada Pejabat Negara/PNS/ABRI yang dananya berasal dari APBN/D dilakukan pemotongan yang bersifat final dengan tarif 15% kecuali bagi PNS golongan II/d ke bawah atau ABRI berpangkat Pembantu Letnan Satu ke bawah, tidak dilakukan pemotongan PPh. <o:p></o:p> <o:p> </o:p> <o:p> </o:p> VI. Petunjuk Pengadaan Barang <o:p></o:p> <o:p> </o:p> Kewajiban perpajakan bagi Bendaharawan atas pengadaan barang adalah: <o:p></o:p> - Pemotongan PPh Pasal 22 (tarif 1,5%)<o:p></o:p> - Pemungutan PPN dan PPnBM <o:p></o:p> <o:p> </o:p> <o:p></o:p> VII. Petunjuk Pengadaan Jasa <o:p></o:p> <o:p> </o:p> Kewajiban perpajakan bagi Bendaharawan atas pengadaan jasa adalah: <o:p></o:p> - Pemotongan PPh Pasal 23/26<o:p></o:p> - Pemungutan PPN <o:p></o:p> Perlu diperhatikan bahwa, atas pengadaan jasa tidak dilakukan pemotongan PPh Pasal 22 melainkan pemotongan PPh Pasal 23/26 dengan tarif sesuai ketentuan yang berlaku tergantung jenis jasanya (UU PPh Pasal 23 dan PMK-244/ PMK.03/2008). <o:p></o:p> <o:p></o:p> <o:p> </o:p> VIII. Petunjuk Pengadaan Barang dan Jasa Atas Proyek yang Dananya <a name="OLE_LINK3"></a><a name="OLE_LINK4"></a>Berasal dari Hibah / Pinjaman Luar Negeri <o:p></o:p> <o:p> </o:p> Proyek yang dibiayai dengan hibah atau pinjaman luar negeri mendapat perlakuan khusus yaitu: <o:p></o:p> - PPN & PPnBM Tidak Dipungut<o:p></o:p> - PPh Ditanggung Pemerintah<o:p></o:p> - Terhadap proyek yang hanya sebagian dibiayai dengan hibah atau pinjaman luar negeri, maka PPN & PPnBM Tidak Dipungut dan PPh Ditanggung Pemerintah hanya atas bagian yang dibiayai hibah/pinjaman luar negeri. <o:p></o:p>

KEWAJIBAN PERPAJAKAN BAGI BENDAHARAWAN - Bagian 1

I. Bendaharawan Sebagai Pemotong/ Pemungut Pajak Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan, Bendaharawan Pemerintah, yait...

Baca selengkapnya »

Perlakuan Perpajakan Bagi Bentuk Usaha Tetap (BUT)

Pajak Warteg (Pajak restoran vs PPN)

Alur Pembayaran Pajak dan Manfaatnya

KEWAJIBAN PERPAJAKAN BAGI BENDAHARAWAN - Bagian 1

Formulir Kontak