Gudang Firmware Gudang Firmware Author
Title: PEMOTONGAN PPh PASAL 21 BAGI BENDAHARAWAN - Bagian 2
Author: Gudang Firmware
Rating 5 of 5 Des:
I. Kewajiban Bendaharawan Bendaharawan wajib memotong Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 atas pembayaran penghasilan ga...

I. Kewajiban Bendaharawan

Bendaharawan wajib memotong Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 atas pembayaran penghasilan gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan.


II. Penghasilan yang dikenakan PPh Pasal 21

Penghasilan yang diterima atau diperoleh Pegawai tetap, baik berupa penghasilan yang bersifat teratur maupun tidak teratur .


Tatacara Penghitungan :

1. Dasar pengenaan dan pemotongan PPh Pasal 21

Dasar pengenaan dan pemotongan PPh Pasal 21 Pegawai Tetap adalah Penghasilan Kena Pajak


2. Menghitung Penghasilan Kena Pajak

Penghasilan Kena Pajak bagi pegawai tetap adalah sebesar penghasilan neto dikurangi Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)

Besarnya penghasilan neto bagi pegawai tetap yang dipotong PPh Pasal 21 adalah jumlah seluruh penghasilan bruto dikurangi dengan:

a. Biaya jabatan*), sebagaimana dimaksud dalam pasal 21 ayat (3) Undang-Undang Pajak Penghasilan;

b. Iuran yang terkait dengan gaji yang dibayar oleh pegawai kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan atau badan penyelenggara tunjangan hari tua atau jaminan hari tua yang dipersamakan dengan dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan.

Penghasilan Kena Pajak bagi penerima pensiun berkala adalah sebesar penghasilan neto dikurangi Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)

Besarnya penghasilan neto bagi penerima pensiun berkala yang dipotong PPh Pasal 21 adalah jumlah seluruh penghasilan bruto dikurangi dengan:

- Biaya Pensiun


3. Biaya Jabatan dan Biaya Pensiun

Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-250/PMK. 03/2008, besarnya biaya jabatan yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto untuk penghitungan pemotongan Pajak Penghasilan bagi pegawai tetap ditetapkan sebesar 5% dari Penghasilan Bruto, setinggi-tingginya Rp 6.000.000,00 setahun atau Rp 500.000,00 sebulan.


Sedangkan besarnya biaya pensiun yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto untuk penghitungan pemotongan Pajak Penghasilan bagi penerima pensiun berkala ditetapkan sebesar 5% dari Penghasilan Bruto, setinggi-tingginya Rp 2.400.000,00 setahun atau Rp 200.000,00 sebulan


4. Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)

Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak adalah bagi:

· Wajib Pajak :Rp 15.840.000,-

· Tambahan status kawin :Rp 1.320.000,-

· Istri Bekerja :Rp 15.840.000,-

· Tambahan tanggungan : Rp 1.320.000,- (Maksimal 3)


Besarnya PTKP ditentukan berdasarkan keadaan pada awal tahun kalender.

Kecuali bagi pegawai yang baru dating dan menetap di Indonesia dalam bagian tahun kalender, ditentukan berdasarkan keadaan pada awal bulan dari bagian tahun kalender yang bersangkutan.


PTKP bagi Karyawati

Besarnya PTKP bagi karyawati berlaku ketentuan sebagai berikut:

a. Bagi karyawati kawin, sebesar PTKP untuk dirinya sendiri;

b. Bagi karyawati tidak kawin, sebesar PTKP untuk dirinya sendiri ditambah PTKP untuk keluarga yang menjadi tanggungan sepenuhnya (apabila ada).


Dalam hal karyawati kawin dapat menunjukan keterangan tertulis dari pemerintah daerah setempat serendah-rendahnya kecamatan yang menyatakan suaminya tidak menerima atau memperoleh penghasilan, besarnya PTKP adalah PTKP untuk dirinya sendiri ditambah PTKP untuk status kawin dan PTKP untuk keluarga yang menjadi tanggungan sepenuhnya.


5. Tarif Pemotongan PPh Pasal 21

Bagi Pegawai Tetap tarif PPh Pasal 21 adalah berdasarkan Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak, yaitu:

· Penghasilan s.d Rp 50.000.000, tarif 5%

· Penghasilan s.d Rp 50.000.000 s.d. Rp 250.000.000, tarif 15%

· Penghasilan Rp 250.000.000 s.d. Rp 500.000.000, tarif 25%

· Penghasilan di atas Rp 500.000.000, tarif 30%


6. Ketentuan Penghitungan PPh Pasal 21

1. Untuk perhitungan PPh Pasal 21 yang harus dipotong setiap masa pajak, kecuali masa pajak terakhir, tarif diterapkan atas perkiraan penghasilan yang akan diperoleh selama 1 (satu) tahun, dengan ketentuan sebagai berikut:

a. Perkiraan atas penghasilan yang bersifat teratur adalah jumlah penghasilan teratur dalam 1 (satu) bulan dikalikan 12 (dua belas);

b. Dalam hal terdapat tambahan penghasilan yang bersifat tidak teratur, maka perkiraan penghasilan yang akan diperoleh salama 1 (satu) tahun adalah sebesar jumlah pada huruf a ditambah dengan jumlah penghasilan yang bersifat tidak teratur.


2. Jumlah PPh Pasal 21 yang harus dipotong untuk setiap masa pajak adalah:

a. Atas penghasilan yang bersifat teratur adalah sebesar Pajak Penghasilan terutang atas jumlah penghasilan sebagaimana anka 1 huruf a dibagi 12 (dua belas):

b. Atas penghasilan yang bersifat tidak teratur adalah sebesar selisih antara Pajak Penghasilan yang terutang, atas jumlah penghasilan sebagaimana dimaksud angka 1 huruf b dengan Pajak Penghasilan yang terutang atas jumlah penghasilan teratur


III. Tarif PPh Pasal 21 bagi yang tidak Mempunyai NPWP

i. Bagi Penerima Penghasilan yang Dipotong PPh Pasal 21 yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak, dikenakan pemotongan PPh Pasal 21 dengan tarif lebih tinggi 20% (dua puluh persen) daripada tarif yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak.

ii. Jumlah PPh Pasal 21 yang harus dipotong adalah sebesar 120 % (seratus dua puluh persen) dari jumlah PPh Pasal 21 yang seharusnya dipotong dalam hal yang bersangkutan memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak.

iii. Pemotongan PPh Pasal 21 hanya berlaku untuk pemotongan PPh Pasal 21 yang bersifat tidak final.

iv. Dalam hal penerima penghasilan yang telah dipotong PPh Pasal 21 dengan tarif yang lebih tinggi sebagaimana dimaksud pada huruf (a), mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak, PPh Pasal 21 yang telah dipotong tersebut dapat diperhitungkan dengan PPh Pasal 21 yang terutang untuk bulan-bulan selanjutnya setelah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak.


IV.Saat Terutang PPh Pasal 21

PPh Pasal 21 terutang bagi Penerima Penghasilan pada saat dilakukan pembayaran atau pada saat terutangnya penghasilan yang bersangkutan.

PPh Pasal 21 terutang bagi Pemotong PPh Pasal 21 dan atau PPh Pasal 26 untuk setiap masa pajak.

Saat terutang untuk setiap masa pajak adalah akhir bulan dilakukannya pembayaran atau pada akhir bulan terutangnya penghasilan yang bersangkutan.


IV. Bukti Pemotongan

Atas pemotongan PPh Pasal 21 Bendaharawan wajib membuat:

- Formulir 1721-A2 atas pemotongan PPh Pasal 21 selama satu tahun, paling lambat 2 bulan setelah berakhirnya tahun pajak, untuk PNS/TNI/POLRI, dan Pejabat Negara.

- Bukti Pemotongan PPh Pasal 21 (form F.1.1.33.01), setiap terjadi pemotongan PPh atas upah/honor/komisi/imbalan lainnya termasuk kepada tenaga ahli, untuk pegawai tidak tetap

- Bukti Pemotongan PPh pasal 21 Final (form F.1.1.33.02), setiap terjadi pemotongan PPh untuk penghasilan berupa honor/imbalan yang berasal dari APBN/D yang dibayarkan kepada PNS/TNI/POLRI/Pejabat Negara dan uang pesangon dan tebusan pensiun yang dibayar sekaligus.

Bukti-bukti pemotongan tersebut dipergunakan oleh penerima penghasilan sebagai kredit pajak dalam melaporkan penghasilan dan pajak terutang ke dalam SPT Tahunan PPh Orang Pribadi masing-masing.


V. Penyetoran PPh Pasal 21

Atas pemotongan PPh Pasal 21 yang telah dilakukan, Bendaharawan Pemerintah wajib menyetor PPh Pasal 21 yang telah dipotong tersebut ke bank persepsi dan Kantor Pos paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya.

Apabila Bendaharawan Pemerintah terlambat menyetor dikenakan sanksi adminsitrasi berupa bunga sebesar 2% sebulan (UU KUP Pasal 14).


VI. Pelaporan PPh Pasal 21 Surat Pemberitahuan (SPT) Masa

Wajib Pajak Bendaharwan wajib menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 21 setiap bulan ke KPP selambat-lambatnya tanggal 20 bulan berikutnya. Apabila dalam bulan yang bersangkutan tidak terdapat pemotongan PPh Pasal 21, Bendaharawan tetap wajib melaporkan SPT Masa tersebut ke KPP.

Apabila kewajiban tersebut tidak dilaksanakan, Wajib Pajak dikenakan sanksi administrasi berupa denda (Pasal 7 UU KUP) sebesar Rp. 100.000,-


Advertisement

Posting Komentar

 
Top